Selasa, 24 April 2012

Wanita Ahli Surga Dan Ciri-Cirinya

Setiap insan tentunya mendambakan kenikmatan yang paling tinggi dan abadi. Kenikmatan itu adalah SURGA. Di dalamnya terdapat bejana-bejana dari emas dan perak, istana yang megah dengan dihiasi beragam permata, dan berbagai macam kenikmatan lainnya yang tidak pernah terlihat oleh mata, terdengar oleh telinga, dan terbetik di hati. Dalam Al-Quran banyak sekali ayat-ayat yang menggambarkan kenikmatan-kenikmatan Surga.
Diantaranya Allah Swt berfirman :
“(Apakah) perumpamaan (penghuni) Surga yang dijanjikan kepada orang-orang bertakwa yang didalamnya ada sungai-sungai dari air yang tidak berubah rasa dan baunya, sungai-sungai dari air susu yang tidak berubah rasanya, sungai-sungai dari khamr (arak) yang lezat rasanya bagi peminumnya, dan sungai-sungai dari madu yang disaring dan mereka memperoleh di dalamnya segala macam buah-buahan dan ampunan dari Rabb mereka sama dengan orang yang kekal dalam neraka dan diberi minuman dengan air yang mendidih sehingga memotong-motong ususnya?” (QS. Muhammad:15)

Disamping mendapatkan kenikmatan-kenikmatan tersebut, orang-orang yang beriman kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala kelak akan mendapatkan pendamping (istri) dari bidadari-bidadari Surga nan rupawan yang banyak dikisahkan dalam ayat-ayat Al-Qur’an yang mulia, diantaranya:
“Dan (di dalam Surga itu) ada bidadari-bidadari yang bermata jeli laksana mutiara yang tersimpan baik.” (QS. Al-Waqi’ah:22-23).“Seakan-akan bidadari itu permata yakut dan marjan.” (QS.Ar Rahman:58). “Sesungguhnya Kami menciptakan mereka (bidadari-bidadari) dengan langsung dan Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan penuh cinta lagi sebaya umurnya.” (QS.Al-Waqi’ah:35-37).
Rosulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam menggambarkan keutamaan-keutamaan wanita penduduk Surga dalam sabda beliau:“…seandainya salah seorang wanita penduduk Surga menengok penduduk bumi niscaya dia akan menyinari antara keduanya (penduduk Surga dan penduduk bumi) dan akan memenuhinya bau wangi-wangian. Dan setengah dari kerudung wanita Surga yang ada dikepalanya itu lebih baik daripada dunia dan isinya.” (HR. Bukhari dari Anas bin Malik radliyallahu ‘anhu).
Dalam hadits lain  Rosulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersanda: “Sesungguhnya istri-istri penduduk Surga akan memanggil suami-suami mereka dengan suara yang merdu yang tidak pernah didengarkan oleh seorang pun. Diantara yang didendangkan oleh mereka: ” Kami adalah wanita-wanita pilihan terbaik. Istri-istri kaum yang termulia. Mereka memandang dengan mata yang menyejukkan..” Dan mereka juga mendendangkan; ” Kami adalah wanita-wanita yang kekal, tidak akan mati, Kami adalah wanita-wanita yang aman, tidak akan takut. Kami adalah wanita-wanita yang tinggal, tidak akan pergi.” (shahih al Jami’ nomor 1557)

dikutip dari tulisan al ustadz Azhari Asri (MUSLIMA XVII/1418/1997)

Minggu, 11 Maret 2012

5 TANDA HATI KERAS MEMBATU

"Hati adalah sumber ilham dan pertimbangan, tempat lahirnya cinta dan benci, keimanan dan kekufuran, taubat dan sikap degil, ketenangan dan kebimbangan. Hati juga sumber kebahagiaan jika kita mampu membersihkannya namun sebaliknya ia merupakan sumber bencana jika kita gemar menodainya.

Aktiviti yang dilakukan sering berpunca daripada lurus atau bengkoknya hati. Abu Hurairah lah.a. berkata, "Hati adalah raja, sedangkan anggota badan adalah tentera. Jika raja itu baik, maka akan baik pula lah tenteranya.. Jika raja itu buruk, maka akan buruk pula tenteranya".

Hati yang keras mempunyai tanda-tanda yang boleh dikenali, di antara yang terpenting adalah seperti berikut: 

1. Malas melakukan ketaatan dan amal kebajikan
Terutama malas untuk melaksanakan ibadah, malah mungkin memandang ringan. Misalnya tidak serius dalam menunaikan solat, atau berasa berat dan enggan melaksanakan ibadah-ibadah sunnah. Allah telah menyifatkan kaum munafikin dalam firman-Nya yang bermaksud, "Dan mereka tidak mengerjakan sembahyang, melainkan dengan malas dan tidak (pula) menafkahkan (harta) mereka, melainkan dengan rasa enggan." (Surah At-Taubah, ayat 54)

2. Tidak berasa gerun dengan ayat al-Quran
Ketika disampaikan ayat-ayat yang berkenaan dengan janji dan ancaman Allah, hatinya tidak terpengaruh sama sekali, tidak mahu khusyuk atau tunduk, dan juga lalai daripada membaca al-Quran serta mendengarkannya. Bahkan enggan dan berpaling daripadanya. Sedangkan Allah S.W.T memberi ingatan yang ertinya, "Maka beri peringatanlah dengan al-Quran orang yang takut dengan ancaman Ku." (Surah Al-Qaf, ayat 45)

3. Berlebihan mencintai dunia dan melupakan akhirat
Himmah dan segala keinginannya tertumpu untuk urusan dunia semata-ma ta. Segala sesuatu ditimbang dari segi keperluan dunia. Cinta, benci dan hubungan sesama manusia hanya untuk urusan dunia sahaja. Penghujungnya jadilah dia seorang yang dengki, ego dan individulistik, bakhil serta tamak terhadap dunia.

4. Kurang mengagungkan Allah
Sehingga hilang rasa cemburu dalam hati, kekuatan iman menjadi lemah, tidak marah ketika larangan Allah dilecehkan orang. Tidak mengamal yang makruf serta tidak peduli terhadap segala kemaksiatan dan dosa.

5. Tidak belajar dengan Ayat Kauniah
Tidak terpengaruh dengan peristiwa-peristiwa yang dapat memberi pengajaran, seperti kematian, sakit, bencana dan seumpamanya. Dia memandang kematian atau orang yang sedang diusung ke kubur sebagai perkara biasa, padahal cukuplah kematian itu sebagai nasihat. "Dan tidaklah mereka (orang-orang munafik) memperhatikan bahawa mereka diuji sekali atau dua kali setiap tahun, kemudian mereka tidak (juga) bertaubat dan tidak (pula) mengambil pelajaran?" (Surah At-Taubah, ayat 126).

Sumber:  http://uqubaik.blogdrive.com/

Sabtu, 03 Maret 2012

Cinta dalam Pandangan Islam

Kajian Muslimah
Pemateri: Desita Purwanto

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Bismilahiirrohmaniirrohiim,

Alhamdulillah segala puji hanya milik Allah Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada nabi dan RasulNya Muhammad sallallahu ‘alaiwasalam.
Terima kasih kepada moderator yg telah memberikan kesempatan pada saya untuk bergabung dg kajian muslimah pada hari ini
Sebelumnya saya mohon maaf jika materi yg akan disampaikan kali ini ada yg sudah pernah membaca/mendapatkannya. Namun saya berharap semoga kita semua tetap bisa mengambil hikmah dari materi kali ini. Terutama untuk diri saya pribadi.
Untuk tema materi kali ini saya ingin menyampaikan tentang “ Cinta Dalam Pandangan Islam”, diambil dari buku karangan Abdullah Nasih Ulwan

Arti Cinta
Cinta adalah persaan jiwa, getaran hati, pancaran naluri. Dan terpautnya hati org yg mencintai pada pihak yg dicintainya, dg semangat yg menggelora dan wajah yg selalu menampilkan keceriaan.
Cinta dlm pengertian spt ini mrpk persaaan mendasar dalam diri mns, yg tdk bisa terlepas dan merupakan sesuatu yg essensial. Dlm banyak hal, cinta muncul utk mengontrol keinginan ke arah yg lebih baik dan positif. Hal ini dpt terjadi jk org yg mencintai menjadikan cintanya sbg sarana utk meraih hasil yg baik dan mulia guna meraih kehidupan sbgmn kehidupan org2 pilihan dan suci serta org2 yg bertaqwa dan selalu berbuat baik.
Apakah Islam mengakui cinta?


Krn Islam adalah agama yg fitrah, maka Islam mengakui ttg hal ini. Hal yg sangat mendasar dalam diri manusia. Namun Islam membagi beberapa tingkatan ttg cinta. Dan tingkatan2 cinta ini akan selalu ada dalam kehidupan ini sampai saatnya bumi dan seisinya dihancurkan oleh Allah.

Adapun dasar ttg tingkatan cinta dalam Islam, adalah firman Allah pada QS. 9 (At Taubah): 24).
“Jika bapak2, anak2, saudara2, pasangan2, dan kaum keluarga kalian, harta kekayaan yg kalian usahakan, perniagaan yg kalian khawatirkan kerugiannya, dan rumah2 tempat tinggal yg kalian sukai, lebih kalian cintai daripada Allah, Rasul-Nya dan (daripada) jihad di jalanNYa, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan siksaNya. Allah tidak memberi petunjuk kepada orang2 yg fasik”

Cinta pada tingkat tertitinggi adalah cinta kepada Allah, rasulNya dan jihad dijalanNya.
Cinta tingkat menengah adalah cinta kepada ortu, anak, keluarga, pasangan dan saudara.
Adapun cinta yg paling rendah adalah cinta yg lebih mengutamakan harta, keluarga, daripada cinta kepada Allah, RasulNya dan jihad dijalanNYa.
Hikmah dari Cinta:
1. Cinta adalah proses ujian yg keras dan pahit dalam kehidupan manusia. Apakah cinta itu dalam perjalanannya akan menghantarkannya kepada jalan yg mulia atau menghempaskannya kepada jalan yg hina.
2. Jika tidak ada cinta maka di dunia ini tidak akan ada inovasi, pembangunan dan peradaban.
3. Keberadaan cinta merupakan faktor dominan dalam melestarikan eksistensi manusia dan interaksinya dengan sesama manusia.

# Ketika cinta diarahkan kpd kebaikan, mk cinta dapat membawa keutuhan, perdamaian, kebaikan pada kehidupan bermasyarakat.
# Cinta yg ditumbuhkan oleh factor keimanan, maka akan menghasilkan berbagai hal yg mengagumkan. Dapat mengubah sejarah, menegakkan puncak kejayaan dan kemuliaan dunia. Sebagai contoh adalah kehidupan generasi muslim pada masa dahulu.
Dan masih banyak lagi hikmah yg lain dari adanya rasa cinta pada diri manusia.

Fenomena yg timbul dari tingkatan2 cinta yg ada akan menimbulkan efek yg berbeda
Pada fenomena tingkatan cinta yg tertinggi, maka akan membuat seseorg dalam hidupnya untuk selalu mendahulukan cinta kepada Allah , RasulNya dan jihad dijalannya. Dalam kehidupannya sehari2 tidak ada orientasi selain kepada Allah. Dia akan selalu merasa yakin bahwa segala sesuatu yg telah Allah tetapkan adalah yg terbaik bagi manusia Bahwa Allah lebih mengetahui daripada makhluknya. Kemudian, bagi seseorg yg sudah merasakan nikmatnya iman, maka dia akan selalu meneladani kepribadian Rasulluh, mencintai Rasululluh, kmdn dia juga akan mencintai jihad dijalanNya. Akan berjuang dengan segala apa yg dia miliki.

Firman Allah pada Qs. 28:68.
“Rabbmu menciptakan apa yg Dia kehendaki dan memilih (seorg Rasul diantara hambaNYa). Sekali2 tidak ada pilihan bagi mereka. Maha suci Allah dan MahaTinggi dari apa yg mereka persekutukan (denganNya)
Qs. 33: 36
“Tidaklah patut bagi seorg mukmin baik laki2 maupun perempuan jika Allah dan RasulNya telah menetapkan bagi mereka suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan yg lain dalam urusan mereka…”
Qs.2:140
“Apakah kalian yang lebih mengetahui ataukah Allah?…”
Qs. 2 : 282
“…dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”
Adapun dampak yg disebabkan oleh cinta tingkat menengah dalam membentuk karakter individu, keluarga, dan masyarakat telah amat nyata. Jika tidak Allah ciptakan cinta pada suami –istri maka tidak akan tercipta keluarga, tidak akan lahir anak-cucu, tidak akan terjadi proses mengasuh, mendidik dan memelihara anak.Jika tdk Allah ciptakan cinta pada anak, niscaya dalam jiwanya tidak akan ada semnagat kekeluargaan, tidak akan kokoh iktakan kekeluragannnya, tidak akan mengasihi saudaranya. Jika tdk Allah tanamkan rasa cinta pada manusia maka, mk tidak akan tercipta hubungan social antar bangsa yg dibangun atas prinsip ta’aruf (saling mengenal)
Dengan demikian cinta tingkat menengah ini amat penting untuk menciptakan kemashalatan pribadi dan keluarga khususnya dan untuk merealisasikan kemaahalatan antar bangsa dan seluruh ummat manusia pada umumnya.
Firman Allah tentang hal ini terdapat pada Qs. 49:10
“Sesungguhnya orang2 mukmin itu bersaudara…”
Qs. 49 : 13
“ Wahai manusia seseungguhnya Kami telah menciptakan kalian dari jenis laki2 dan perempuandan Kami telah menjadikan kalian berbangsa2 dan bersuku2 agar kalian saling mengenal…”
Hadits riwayat Bukhari-muslim
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah dia berbuat baik kepada tetangganya .., hendaklah dia menghormati tamunya”
Dan masih banyak lagi ayat dan hadist yg menceritakan tentang hubungan antar manusia.

Fenomena Cinta tingkat rendah
Cinta jenis ini ada beberapa macam:
1. Mencintai thougut dan sesembahan selain Allah, seperti menyembah manusai, batu dsb.
Qs. 2: 165
“Diantara manusia ada orang2 yg menyembah tuhan2 selain Allah. Mereka mencintai tuhan itu sebagaimana mereka ( org2 mukmin yg mukhlis) mencintai Allah. Adapun org2 yg beriman jauh lebih besar cintanya kepada Allah (disbanding cinta org2 kafir terhadap tuhan2 mereka)…”
2. Menjalin tali kasih kepada musuh2 Allah.
Qs. 60:1
“Hai org2 yg beriman, jgnlah kalian menjadikan musuhKU dan musuh kalian sebagai teman2 setia, yg kalian sampaikan kepada mereka (rahasia org2 mukmin) karena kasih sayang (kepada mereka), padahal sebenarnya mereka telah ingkar terhadap kebenaran (kitab dan Rasul) yg datang kepada kalian..”

3. Mengumbar syahwat dan berkubang dalam Lumpur kekejian dan kehinaan.
Qs.3:14

“Dijadikanlah indah pada (hati) manusia kecintaan kepada apa2 yg diingini, yaitu wanita2…”
4. Mencintai ayah,ibu,anak, istri, suami, keluarga, karir, tanah air melebihi cintanya kepada Allah, RasulNya dan Jihad dijalannya.
Qs.9:24.
“Jika bapak2, anak2, saudara2, pasangan2, dan kaum keluarga kalian, harta kekayaan yg kalian usahakan, perniagaan yg kalian khawatirkan kerugiannya, dan rumah2 tempat tinggal yg kalian sukai, lebih kalian cintai daripada Allah, Rasul-Nya dan (daripada) jihad di jalanNYa, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan siksaNya. Allah tidak memberi petunjuk kepada orang2 yg fasik”

Nabi salallahu ‘alaihiwassalam bersabda:
“Tidak sempurna iman seseorg dari kalian hingga aku lebih dia cintai daripada bapak-ibunya, anaknyadan seluruh manusia.” (HR. Bukhari dan Muslim).
5. Menuhankan hawa nafsunya,
Qs. 45:23
“ Bagaimanakah pendapatmu tentang org menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membirakannya sesat berdasarkan ilmuNya?…

Dengan demikian bagi seorang mukmin yg telah diliputi oleh manisnya iman, maka ia tidak akan rela jika dirinya diliputi oleh cinta pada tingkatan yg rendah yg akan membunuh karakter manusia dan menghancurkan kemuliaannya. Bahkan ia akan menjaga kesetiaannya hanya kepada Allah saja. Dia akan menjaga cintanya untuk tidak akan memberikannya kepada mush2 Islam, Dia akan menjaga syahwatnya, dan tidak melakukannya dijalan yg bahtil.Dia tidak akan mencintai kekayaannya, pasangan, anak, orag tuanya, keluarganya, kedudukannya melebihi cintanya kepada Allah, RasulNya dan jihad dijalanNya.
Pada akhirnya hanya diri kita sendiri yg akan menentukan pada tingkatan cinta yg mana kita berada. Dan hal ini hanya Allah dan diri kita saja yg tahu.

Semoga Allah senantiasa menjaga diri kita agar tidak terjebak pada cinta tingkat rendah.
Ini saja yg biasa saya sampaikan, mohon maaf atas segala kekhilafan. Kebenaran hanyalah milik Allah SWT.
 > Sumber:  http://kajianmuslimah.wordpress.com/2008/02/13/cinta-dalam-pandangan-islam/

Rabu, 01 Februari 2012

Mencari Tuhan

Oleh : M. Thoyib H.M.

Sahabat, seringkah anda dihampiri pertanyaan-pertanyaan seperti “untuk apa semua ini? Apakah makna hidup saya? Kenapa hidup saya terasa datar saja, berputar-putar dari hari ke hari? Hanya pergantian episode senang dan sedih? Mengapa saya seperti dikuasai oleh kehidupan saya?” pun mulai muncul di hati anda.

Sebenarnya, Allah setiap saat 'memanggil-manggil' kita untuk kembali kepada-Nya. Dengan cara apa saja. Dia, dengan kasih sayang-Nya,terkadang membuat suasana kehidupan seorang anak manusia sedemikian rupasehingga kalbunya dibuat-Nya 'menoleh' kepada Allah. Hanya saja, teramatsedikit orang yang mendengarkan, atau berusaha mendengarkan,panggilan-Nya ini.Allah terkadang membuat kita terus menerus gelisah, atau terusmenerus mempertanyakan 'Siapa diri saya ini sebenarnya? Apa tujuan saya? Apa makna kehidupan saya?,' dan sebagainya. Bukankah kegalauan semacam ini adalah sebuah seruan, panggilan supaya kita mencari kesejatian? Mencari kebenaran? Mencari 'Al-Haqq'? Allah, percayalah, akan selalu
menurunkan pancingan-pancingan pada manusia untuk mencari-Nya.

Dalam hal ini, Allah amatlah pengasih. Apakah seseorang percaya kepada-Nya atau tidak, beragama atau tidak, Dia tidak pandang bulu. Apakah seseorang membaca kitab-Nya atau tidak, percaya pada para utusan-Nya ataupun tidak, semua orang pernah dipanggil-Nya dengan cara seperti ini. Setiap orang pasti dipanggil-Nya seperti ini untuk mencari kesejatian, untuk mencari hakikat kehidupan.

Bentuk 'pancingan' semacam ini pula yang dialami oleh para pencari, maupun para Nabi. Nabi Ibrahim yang gelisah dan mencari tempat mengabdi (ilah), yang diabadikan dalam QS 6:74-79. Juga kita lihat Nabi Musa, misalnya. Setelah hanyut di sungai nil, dia dibesarkan oleh salah seorang maha raja yang terbesar sepanjang sejarah, Ramses I. Hidup dalam kemewahan, kecukupan, hanya bersenang-senang. Tapi dia selalu 'galau' ketika melihat di sekelilingnya, bangsa Bani Israil, yang ketika itu menjadi warga mesir kelas rendahan, sebagai budak. Dia yang hidup dengan ayahnya Ramses I, tentunya setiap hari melihat sisi kemanusiaan ayahnya, normal saja. Dia mungkin hanya sedikit heran mengapa masyarakat mesir mau menyembah ayahnya.
Hanya saja, kadang kemewahan, kenyamanan, mengubur harta kita yang sangat berharga itu: potensi kita untuk mencari siapakah diri kita sebenarnya. Kita disibukkan oleh pekerjaan, dibuai oleh kesibukan, mengejar kesuksesan kerja, atau ditipu oleh dalih mengejar karir atau sekolah, atau nyaman bersama keluarga. Sangat sering, ketika hal ini terjadi, pertanyaan-pertanyaan esensial seperti itu, yaitu potensi pencarian kebenaran yang kita bawa sejak lahir, yang ketika kanak-kanak sangat nyata, terkubur dan terlupakan begitu saja seiring waktu kita menjadi semakin dewasa. Padahal, itu adalah 'potensi mencari Allah' yang Dia bekali untuk kita ketika lahir. Bukan berarti kita harus meninggalkan semua itu, bukan sama sekali. Tapi, jangan biarkan semua itu menenggelamkan potensi pencarian kebenaran yang telah Allah turunkan pada kita semenjak lahir.

Ketika kita tenggelam dalam dunia seperti itu, kita bahkan tidak menyadari bahwa kehidupan kita berputar-putar saja dari hari ke hari. Sekolah, mengejar karir, pergi pagi pulang sore, terima gaji, menikah, membesarkan anak, menyekolahkan anak, pensiun, dan seterusnya setiap hari, selama bertahun-tahun. Apakah hanya itu? Bukankah kita tanpa sadar telah terjebak kepada pusaran kehidupan yang terus berputar-putar saja, tanpa makna? Celakanya, kita mencetak anak-anak kita untuk mengikuti pola yang sama dengan kita. Pada saatnya nanti, mungkin hidup mereka pun akan mengulangi putaran-putaran tanpa makna yang pernah kita tempuh.

Sangat jarang orang yang potensi pencariannya akan Allah belum terkubur. Dalam hal ini, jika kita masih saja gelisah mencari makna kehidupan, maka kegelisahan kita merupakan hal yang perlu disyukuri. Berapa orang, sahabat, yang masih mau mendengarkan kegelisahannya sendiri? Padahal kegelisahannya itu merupakan rembesan dari jiwa yang menjerit tidak ingin terkubur dalam kehidupan dunia. Dia 'menjerit' ingin mencari Al-Haqq, dan 'rembesannya' kadang naik ke permukaan dalam bentuk kegelisahan. Sayang, sebagian orang segera membantai kegelisahannya, potensi pencarian kebenarannya ini, justru pada saat ketika ia timbul; karena secara psikologis hal ini memang terasa tidak nyaman. Maka untuk melupakannya, ia semakin menenggelamkan diri lebih dalam lagi dalam pekerjaannya, kesibukannya, bersenang-senang, atau berdalih menutupi kegelisahannya dengan berusaha lebih lagi mencintai istri dan anak, atau keluarga, menenggelamkan diri dalam keasyikan hobi… dan sebagainya. Atau, membantainya dengan kesenangan spiritual sesaat, seperti datang ke pengajian bukan dengan niat mencariNya tapi hanya untuk melenyapkan kegelisahannya, seperti obat sakit kepala saja. Kegelisahan hilang, dia pun pergi lagi.. Atau juga dengan mengindoktrinasi dirinya: "Manusia diciptakan untuk beribadah!! Segala jawaban telah ada di Qur'an!!" Oke, tapi ibadah yang seperti apa? Bisakah kita benar-benar beribadah, tanpa mengetahui maknanya? Atau lebih jauh lagi, mampukah ia menjangkau makna Qur'an?

Beranikah kita jujur pada diri kita sendiri: Jika qur'an benar mengapa kegelisahannya tidak hilang? Mengapa qur'an seperti kitab suci yang tidak teratur susunannya? Mengapa ayatnya kadang melompat-lompat, dari satu topik ke yang lainnya secara mendadak? Jika kita beriman, apakah iman itu? Apakah takwa itu? Apakah Lauhul Mahfudz? Apakah Ad-diin? Apakah Shiratal Mustaqim? Jalan yang lurus yang bagaimana? Mengapa qur'an terasa abstrak dan tak terjangkau makna sebenarnya? Ini sebenarnya pertanyaan-pertanyaan jujur, dan sama sekali bukan menghakimi qur'an.

Kadang orang terus saja mengindoktrinasi dirinya sendiri, padahal qur'an sendiri menyatakan bahwa tidak ada yang mampu menjangkaunya selain orang-orang yang disucikan/mutahhiriin, (QS 56:77-79).
[Q.S. 56] "Sesungguhnya Al Qur'an ini adalah bacaan yang sangat mulia (77). Pada kitab yang terpelihara (78). Dan tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan/ muthahhiriin (79)."
Apakah dia berani yakin bahwa dia adalah seorang yang telah disucikan, sehingga makna qur'an telah terbentang begitu jelas dihadapannya? Jika demikian, apa gunanya pernyataan : "Semua jawaban telah ada di Qur'an" baginya? Apakah ia akan terus saja membohongi diri dengan membaca terjemahan qur'an dan memaksakan diri meyakini bahwa ia telah mendapatkan maknanya?

Jeritan jiwanya tersebut ia timbun dengan segala cara. Ia tidak ingin mendengarkannya. Hal ini, sudah barang tentu akan membuat seseorang semakin terperangkap saja dalam rutinitasnya, dan semakin terkuburlah potensi pencariannya akan kebenaran. Padahal seharusnya 'jeritan jiwa' tersebut didengarkan. Jika anak kita menangis karena lapar, apakah kita akan pergi bersenang-senang untuk melupakannya, dan berharap anak kita akan berhenti menangis dengan sendirinya? Bukankah seharusnya kita mencari tahu, kenapa anak kita menangis?

Kembali kepada kisah Musa as. Demikian pula Musa, ia pun, sebagaimana kita semua, sejak kecil dibekali pertanyaan-pertanyaan dari dalam dirinya. Dibekali kegelisahan pencarian kebenaran. Bibit-bibitnya ada. Allah, untuk menumbuhkan bibit-bibit pencariannya itu supaya tidak terkubur dalam kemewahan kehidupan istana, menyiramnya dengan kebingungan yang lebih besar lagi.

Ia dipaksa-Nya menelan kenyataan bahwa ayahnya pernah membantai jutaan bayi lelaki Bani Israil. Ia dipaksaNya menelan kenyataan bahwa ayahnya menganggap Bani Israil adalah warga kelas dua yang rendah, bodoh, dan memang patut diperbudak. Puncaknya, ia dipaksaNya menelan kenyataan bahwa dirinya sendiri ternyata merupakan seorang anak Bani Israil, keturunan warga budak kelas dua, yang dipungut dari sungai Nil. Pada saat ini, pada diri seorang Pangeran Musa lenyaplah sudah harga dirinya. Hancur semua masa lalunya. Dia seorang tanpa sejarah diri sekarang. Ditambah lagi ia telah membunuh seorang lelaki, maka larilah ia terlunta-lunta, menggelandang di padang pasir, mempertanyakan siapa dirinya sebenarnya. Justru, pada saat inilah ia berangkat dengan pertanyaan terpenting bagi seorang pejalan suluk, yang telah tumbuh disiram subur oleh Allah dengan air kegalauan: "Siapa diriku sebenarnya?". Pertanyaan ini telah tumbuh kokoh dalam diri Musa as., dan sebagaimana kita semua mengetahui kisah lanjutannya, di ujung padang pasir Madyan ada seorang pembimbing untuk menempuh jalan menuju Allah ta'ala, yaitu Nabi Syu'aib as, yang lalu menyuruh anaknya untuk menjemput Musa dan membawa Musa kepadanya. Di bawah bimbingannya, Musa dididik menempuh jalan taubat, supaya "arafa nafsahu", untuk "arif akan nafs (jiwa)-nya sendiri". Dan dengan bimbingan Syu'aib akhirnya ia mengerti dengan sebenar-benarnya (ia telah 'arif), bahwa dirinya diciptakan Allah sebagai seorang Rasul bagi bangsa Bani Israil, bukan sebagai seorang pangeran Mesir. Ia menemukan kembali misi hidupnya, tugas kelahirannya yang untuk apa Allah telah menciptakannya. Ia telah menemukan untuk apa dia diciptakan, yang disabdakan oleh Rasulullah SAW: "Setiap orang dimudahkan untuk mengerjakan apa yang telah Dia ciptakan untuk itu." (Shahih Bukhari no. 2026)

Maka dari itu, sahabat-sahabat, jika ada diantara anda yang mungkin ingin sekali bertemu seorang guru sejati, atau seorang mursyid yang Haqq untuk minta bimbingannya, maka terlebih dahulu anda harus benar-benar mencari Allah, mencari kebenaran, mencari Al-Haqq. Pertanyaan "Siapakan aku? Untuk apa aku diciptakan?" harus benar-benar telah tumbuh dalam diri kita (dan itu pun bukan menjadi jaminan bahwa perjalanannya akan berhasil). Anda memang telah benar-benar butuh jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu. Jika tidak demikian, atau jika belum merasa benar-benar membutuhkan, percayalah, tidak akan ada seorang mursyid sejati yang akan mengutus anak-anaknya untuk menjemput anda. "Man 'arafa nafsahu, faqad 'arafa rabbahu", bukan semata-mata artinya "siapa yang mengenal dirinya, maka mengenal Tuhannya." Kata " 'Arafa", juga "Ma'rifat," berasal dari kata 'arif, yang bermakna 'sepenuhnya memahami', 'mengetahui kebenarannya dengan sebenar-benarnya'; dan bukan sekedar mengetahui. dan nafsahu berasal dari kata 'nafs', salah satu dari tiga unsur yang membentuk manusia (Jasad, nafs, dan ruh). Jadi, kurang lebih maknanya adalah "barangsiapa yang 'arif (sebenar-benarnya telah mengetahui) akan nafs-nya, maka akan 'arif pula akan Rabbnya". Jalan untuk mengenal kebenaran hakiki, mengenal Allah, hanyalah dengan mengenal nafs terlebih dahulu. Setelah arif akan nafs kita sendiri, lalu 'arif akan Rabb kita, maka setelah itu kita baru bisa memulai melangkah di atas 'Ad-diin'. 'Arif akan Rabb, atau dalam bahasa Arab disebut 'Ma'rifatullah' (meng- 'arifi Allah dengan sebenar-benarnya), sebenarnya barulah –awal– perjalanan, bukan tujuan akhir perjalanan sebagaimana dipahami kebanyakan orang. Salah seorang sahabat Rasul selalu mengatakan kalimatnya yang terkenal: "Awaluddiina ma'rifatullah", Awalnya diin adalah ma'rifat (meng-'arif-i) Allah. [] WaLLahu’alam

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More